Pelapisan Sosial
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social
stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota
masyarakatsecara vertikal (bertingkat).
Dasar-dasar pembentukan pelapisan sosial
Ukuran atau kriteria yang menonjol atau dominan sebagai
dasar pembentukan pelapisan sosial adalah sebagai berikut.
Ukuran kekayaan
Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran
penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang
siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas
dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai
kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat
dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang
dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja,serta
kemampuannya dalam berbagi kepada sesama
Ukuran kekuasaan dan wewenang
Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling
besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran
kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai
orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat
mendatangkan kekayaan.
Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan
atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan
atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat
terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati
orang-orang yang banyak jasanya kepadamasyarakat, para orang tua ataupun
orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Ukuran ilmu pengetahuan
Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota
masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai
ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial
masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat
dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh
seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar
profesional seperti profesor. Namun sering timbul akibat-akibat negatif dari
kondisi ini jika gelar-gelar yang disandang tersebut lebih dinilai tinggi
daripada ilmu yang dikuasainya, sehingga banyak orang yang berusaha dengan
cara-cara yang tidak benar untuk memperoleh gelar kesarjanaan, misalnya dengan
membeli skripsi, menyuap, ijazah palsu dan seterusnya.
Pelapisan Sosial di Indonesia
Indonesia merupakan bangsa yang memiliki karakteristik
masyarakat yang majemuk. Kemajemukan tersebut yang menghasilkan adanya
stratifikasi sosial atau pengelompokan suatu masyarakat ke dalam
tingkatan-tingkatan tertentu secara vertikal. Stratifikasi sosial sebenarnya
sudah ada sejak jaman Indonesia di jajah oleh Belanda dan Jepang. Koloni
mengelompokkan masyarakat Indonesia ke dalam golongan-golongan tertentu sesuai
dengan rasnya. Akan tetapi di jaman sekarang, stratifikasi sosial tidak lagi
dikelompokkan berdasarkan ras. Stratifikasi sosial di Indonesia lebih
mengarahkan penggolongan suatu masyarakat yang dinilai dari segi status
sosialnya seperti jabatan, kekayaan, pendidikan atau sistem feodal pada
masayarkat Aceh dan kasta pada masyarakat Bali. Sedangkan ras, suku, klan,
budaya, agama termasuk ke dalam penggolongan secara horizontal.
Terdapatnya masyarakat majemuk di Indonesia tidak serta
muncul begitu saja, akan tetapi karena faktor-faktor seperti yang dijelaskan
dalam artikel Nasikun (1995) yaitu, pertama keadaan geografis yang membagi
Indonesia kurang lebih 3000 pulau. Hal tersebut yang menyebabkan Indonesia
memiliki suku budaya yang banyak seperti Jawa, Sunda, Bugis, Dayak, dan
lain-lain. Kedua ialah Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera
Pasifik yang mneyebabkan adanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia
seperti Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. Dan ketiga ialah iklim yang
berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak sama yang menyebabkan perbedaan mata
pencaharian antar wilayah satu dengan wilayah lainnya. Sehingga hal tersebut
pula dapat membedakan moblitas suatu masyarakat satu dengan masyarakat lainnya
dalam kondisi wilayah yang berbeda.
Kemudian Pierre L. van den Berghe dalam artikel Nasikun
(1995) menyebutkan karaktistik dari masyarakat majemuk ialah (1) Terjadinya
segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki sub-kebudayaan yang berbeda
satu sama lain, (2) Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, (3) Kurang mengembangkan
konsensus di antara anggota masyarakat tentang nilai-nilai sosial yang bersifat
dasar, (4) Secara relatif, seringkali terjadi konflik di antara kelompok satu
dengan kelompok lainnya, (5) Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas
paksaan dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, (6) Adanya dominasi
politik oleh suatu kelompok atas kelompok lainnya.
Masyarakat majemuk tentu rentan terhadap adanya konflik. Hal
tersebut dikarenakan etnosentrisme suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok
masyarakat yang lainnya. Hal tersebut dirasa wajar mengingat terdapat banyaknya
suku budaya yang ada di Indonesia yang masing-masing dari suku tersebut merasa
bahwa sukunya lebih dominan dari suku lain. Seperti pernyataan dari pendekatan
konflik, bahwa masyarakat majemuk terintegrasi di atas paksaan dari suatu
kelompok yang lebih dominan dan karena ada saling ketergantungan antar kelompok
dalam hal ekonomi (Nasikun 1995, 64). Kelangsungan hidup suatu masyarakat
Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang
disepakati bersama oleh sebagian besar orang akan tetapi lebih daripada itu
nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati melalui proses sosialisasi
(Nasikun 1995, 65). Sehingga dari proses sosialisasi yang ditanamkan sejak
dini, dapat mengurangi resiko konflik antar masyarakat dalam pandangan yang
etnosentris.
Dari pandangan penulis dapat disimpulkan bahwa, stratifikasi
yang terdapat di dalam bangsa Indonesia seharusnya dapat dimengerti secara
bijak. Kemunculan sistem penggolongan masyarakat ke dalam kelompok-kelompok
tertentu tidak begitu saja muncul di atas kemajemukan suatu bangsa. Ada sebuah
hal yang dihargai dalam suatu kelompok masyarakat yang menyebabkan stratifikasi
sosial itu dibutuhkan. Dan pluralitas yang terdapat dalam bangsa Indonesia
seperti perbedaan agama, suku, budaya dan ras seharusnya tidak dijadikan sebuah
masalah mengingat semboyan yang selalu ditanamkan oleh masyarakat Indonesia
yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Dan pasca merdekanya Indonesia, menurut penulis
perbedaan-perbedaan tersebut semakin membesar mengingat bahwa suatu masyarakat
di dalam suatu wilayah akan terus berkembang.
Contoh pelapisan masyarakat di Indonesia
-
Orang yang mempunyai banyak kekayaan atau uang
biasanya menempati urutan pertama dalam pelapisan masyarakat karena dianggap penting
dan akan dibutuhkan, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kekayaan akan
menempati urutan terendah dalam pelapisan masyarakat karena dianggap keberadaannya
tidak dibutuhkan atau tidak penting
-
Orang yang mempunyai kekuasaan seperti pejabat pemerintahan
akan menempati urutan pertama dalam
pelapisan masyarakat karena kekuasaannya diharapkan akan memberikan dampak bagi
masyarakat, sebaliknya orang yang tidak mempunyai kekuasaan akan menempati
urutan terendah dalam pelapisan masyarakat karena dianggap keberadaannya tidak
memberikan dampak bagi masyarakat.
-
Orang yang dihormati akan menempati urutan pertama
dalam pelapisan masyarakat. Hal ini biasanya terjadi di daerah pedesaan yang
masih kental akan adat istiadat dan kebudayaan. Contohnya, orang yang dianggap
berjasa di masyarakat akan menempati urutan pertama dalam pelapisan masyarakat
karena jasa-jasanya.
-
Orang yang berpendidikan akan menempati urutan
pertama dalam pelapisan masyarakat. Contohnya, orang yang berpendidikan dan
mempunyai gelar akan lebih dihormati dibandingkan orang yang tidak berpendidika
atau memiliki gelar
Sumber :